Selasa, 21 Oktober 2014

Kisah Empat Lilin



Ada empat lilin menyala,
Sedikit demi sedikit habis meleleh.
Suasana begitu sunyi hingga terdengarlan suara mereka.

Lilin pertama berkata:
“Aku adalah damai
Namun manusia tak mampu menjagaku
Maka lebih baik aku mematikan diriku saja!”
Demikian sedikit demi sedikit lilin padam.

Lilin kedua berkata:
“Aku adalah Iman
Sayang aku tak berguna lagi
Manusia tak mau mengenaliku lagi
Untuk itulah tak ada gunanya aku mnyala.”
Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya.

Dengan sedih lilin ketiga bicara:
“Aku adalah Cinta
Tak mampu lagi aku tetap menyala
Manusia tak lagi memandang dan menganggapku berguna.
Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya.”
Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah lilin ketiga.

Tanpa terduga, seorang anak masuk kedalam kamar dan melihat ketiga lilin telah padam.
Karena tekut akan kegelapan, ia berkata:
“Ekh apa yang terjadi?!! kalian harus tetap menyala, aku takut akan kegelapan”
Lalu ia menangis tersedu-sedu.

Lalu dengan haru lilin keempat berkata:
“Jangan takut…Jangan menangis…
Selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga lilin lainnya.
Akulah HARAPAN…”

Dengan mata bersinar, sang anak mengmbil LILIN HARAPAN, lalu menyalakan kembali ketiga lilin lainnya. Apalah yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN yang ada dalam hati kita


Sumber: http://kisahkita-tiarmaulidia.blogspot.com/


Ayah hebat untuk generasi kuat

  Sejarah mencatat beberapa contoh dari generasi hebat Zaman Nabi Muhammad dan Khalifah sesudahnya. Beberapa contoh berikut menggambarkan hebatnya generasi muda waktu itu, diantaranya :

Ali baru berusia 10 tahun saat menjadi tameng Rasulullah ketika akan berangkat hijrah. Resikonya adalah terbunuh. Di usia belia itu Ali sudah siap syahid. Anak yang luar biasa bukan?
Seorang Zaid bin Tsabit saat usia 9 tahun sudah ingin maju ke medan perang, padahal pedangnya lebih panjang dari tubuhnya. Saat tidak diijinkan, dia sedih dan mengadu ke uminya. Uminya kemudian menganjurkan jihad dengan pena. Sejarah kemudian mencatat bahwa ia adalah sekretaris Rasulullah yang mencatat wahyu yang turun. Pada usia 21 tahun dapat amanah strategis dari Khalifah Abu Bakar untuk mulai membukukan Al Quran.
Umar Bin Abdul Azis berusia 24 tahun saat menjadi gubernur Madinah. Kemudian usia 37 tahun jadi khalifah.
Muhammad Al Fatih memimpin pasukan muslim menaklukan Konstantinopel saat usia 21 tahun.

Bagaimana dengan anak-anak kita?

Bukan sebuah pesimistis, tapi ada beberapa gejala mengkhawatirkan yang layak menjadi bahan buat early warning bagi orang tua. Apa saja?

Generasi Langit yang Pasrah. Artinya generasi yang gampang terombang ambing. Ungkapan “terserah ente dah”, “ya gitu deh”, “ya….gimana gitu”, sepertinya biasa saja bukan? ternyata ini adalah indikasi awal yang perlu diwaspadai karena bisa mencerminkan dari generasi yang tak mampu punya sikap tegas, anak yang tidak bisa berkata “tidak!”. Dalam jangka panjang generasi yang tidak berpendirian begini hanya akan jadi follower.

Hasil STERILISASI, bukan IMUNISASI. Anak-anak generasi sekarang dikhawatirkan karena mereka kering pengalaman, lebih banyak di depan layar hape, televisi dan komputer. Berjarak dan asing dari tetangga, dan realitas. Terproteksi. Sedangkan input ortu dan lingkungan adalah ungkapan “harus ini nggak boleh itu!”. Tidak terkondisikan untuk berani bertanya. Ini adalah ciri pengasuhan dengan pola indoktrinasi yg kuat.

Beramal untuk Orang Tua. Mereka menjadi anak soleh di depan orang tua, tapi error di belakang. Mereka bilang “Yang pengen hafal Quran kan Abah, bukan saya”

Bisa beragama tapi tak suka beragama. Bisa baca Quran tapi tak suka. Bisa Sholat tapi tidak suka sholat. Bisa doa tapi tidak suka doa. Bisa pake jilbab tapi gak suka pake jilbab, maka amat mudah bagi mereka untuk melepasnya lagi.

Agar anak berkarakter tangguh

Agar anak berkarakter tangguh, maka para ayah janganlah lari dan abai. Berikut yang harus disimak para oarang tua :

1. Pengasuh yang lengkap (ayah dan bunda hadir dalam jiwa anak).

Kita lahir di negeri yg menyerahkan pendidikan anak kepada ibu. Ibu memang madrasah pertama, tapi ingat ayah adalah kepala sekolahnya. Indonesia praktis adalah negeri tanpa ayah, NII (negeri ibu-ibu) karena masih asingnya para ayah dari dunia pengasuhan anak.

Padahal….

Ibu takkan bisa menggantikan peran ayah. Anak membutuhkan dua sayap. Sayap pengasuhan dari ayah dan ibunya. Tak boleh hanya satu, idealnya begitu. Karena itulah fitrah anak yang Allah titipkan dalam jiwa raganya. Sayap ibu tak bisa digantikan oleh sayap ayah dan demikian sebaliknya.” (Dikutip dari buku “RAHASIA JADI AYAH HEBAT” karangan Irwan Rinaldi).

Contoh, yang bercerita gagahnya Umar bin Khatab adalah ibunda yg gemulai. Secara kognitif sudah sampai pesan tentang Umar yang gagah. Tapi bagaimana seorang anak mendapatkan gambaran utuh seorang Umar bin Khatab ? Maka ayahlah yang harus memberi contoh ekpresi kegagahan seorang Umar bin Khatab.

Kesibukan ayah menjadikan banyak kita yang yatim sebelum waktunya. Yatim secara psikologis. Terjadi fenomena Father Hunger, ketiadaan ayah pada jiwa anak. Maka jiwa anak yang jauh dari ayahnya kelak akan jadi generasi minder, peragu. Praktis ayah sekarang hanya berfungsi jadi mesin ATM. Hanya jadi tempat meminta uang.

Solusi bagi ayah agar dekat dgn anak

Berikut ada beberapa tips agar ayah dekat dengan anak, walau sulit bagi sebagian ayah, namun mari kita coba

Pagi, ayahlah yang membangunkan anak, sampaikan kalimat-kalimat yang positif, seperti kalimat, bacaan qur’an, kata-kata motivasi dan penghargaan.

Siang, sempatkan telpon atau SMS kalau memungkinkan.

Malam, menjelang tidur, sampaikan lagi kalimat-kalimat positif, kalimat tauhid, kisah atau baca kitab suci. Juga evaluasi tentang kegiatan hari itu, serta nasihat.

Waktu libur, jalin kebersamaan yang berkualitas dan interaktif

Waktu anak sedih, ayah harus hadir. Bahkan Nabi Muhammad sempat menghibur seorang anak yg kehilangan burung pipit.

Waktu aktualisasi, saat pentas, pembagian raport, ikut lomba dll usahakan ayahlah yang datang dan hadir.

Teladan Rasulullah, saat ayahanda Abdullah wafat, Muhammad kecil lantas diasuh oleh kakek lalu ke paman beliau. Karena anak memang perlu sosok ayah.

Spirit pengasuhan di Al Quran ternyata lebih ke spirit keayahan, 17 ayat dialog pengasuhan di Al Quran, 14 ayat diantaranya adalah dialog ayah-anak, sedangkan dua ayat lainnya antara ibu dan anak.

Contohlah Ibrahim. Ia adalah AYAH HEBAT dalam sejarah, krn :

Dua anaknya juga menjadi Nabi (Ismail&Ishak)
Mengasuh dari jauh dg doa yg khusyuk –> (AYAH di Palestina, anak&istri di Mekah)
Memilih istri yg pandai mengasuh –> (Siti Hajar terkenal dengan kisah Shofa&Marwa)
Memilih tmpt tinggal yg baik –> (dkt Masjid)
Selalu mengajak anaknya berdialog dlm setiap keputusan (QS.37: 102)
Menegakkan sholat utk diri&keturunannya

2. Habis Habisan Di Usia Dini

Kadang anak usia dini mengalami kesalahan pengasuhan. Pertama anak usia pra sekolah disuruh belajar ala anak sekolah. Padahal haknya adalah bermain. Perhatian ayah pada anak juga banyak yang tidak memadai. Ayah hanya fokus pada cari uang agar kelak kuliah kedokteran, contohnya. Maka memberi perlakuan yang terbaik pada usia dini adalah investasi jangka panjang orang tua. Kesempatannya pun tak akan terulang kembali.

3. Pengajaran berbasis hands on minds on, praktek teori, pengalaman hidup

Karakter banyak terbentuk dari pengalaman hidup. Maka memberikan anak pengalaman terbaik menjadikannya berkarakter terbaik. Rasulullah di usia belia sudah belajar secara alami dari pengalaman menggembala kambing, dan kemudian berdagang. Walaupun beliau tidak bisa baca tulis. Belajar dari pengalaman hidup menjadikannya pemimpin dunia. Bukan berarti anak kita nggak perlu bisa baca tulis. Tapi memang Nabi Muhammad menjadi contoh terbaik dari proses pembelajaran menjadi insan teladan.

4. komunikasi yang patut atas dasar :

- Pengkuan

- Bimbingan

- Perbaikan

Mengapa Ismail mau disembelih ayahanda Ibrahim? Menurut Sayid Qutb, disamping karena faktor kuatnya aqidah yang tertanam, juga karena Ismail dihargai. Caranya? Dengan diajak dialog oleh Ibrahim. Karena secara manusia, di ayat tentang kisah penyembelihan Ismail, pada dialognya tersirat bahwa Ismailpun memiliki rasa takut yang manusiawi. Tetapi itu tereliminasi oleh sikap seorang ayah Ibrahim yang sangat apresiatif.

Penutup

Sekian dulu ya…

sambil introspeksi diri…

mudah-mudahan Allah senantiasa memimbing kita jadi ayah yang baik

Amiin…

Menangis Yang Bermanfaat


Kata ahli Hikmah, "Dunia ini dimulai dengan tangis, dicelahi oleh tangis dan
diakhiri dengan tangis."

Menangis adakalanya dituntut oleh syariat. Orang-orang yang mencintai Allah sepenuh hati, selalu menangis mengenangkan dosanya. Ada bermacam-macam tangisan orang-orang sholeh:

1. Menangis karena malu, seperti tangisan Nabi Adam as.
2. Menangis karena kesalahan, seperti tangisan Nabi Dawud as.
3. Menangis karena takut, seperti tangisan Nabi Yahya bin Zakaria.
4. Menangis karena kehilangan, seperti tangisan Nabi Ya’qub as.
5. Menangis karena Kharisma Ilahi, seperti tangisan seluruh para Nabi as, yaitu dalam firmanNya: “Ketika dibacakan ayat-ayat Sang Rahman kepada mereka, maka mereka bersujud dan menangis.” (Marsyam: 58)
6. Menangis karena rindu dan cinta, seperti tangisan Nabi Syu’aib as, ketika beliau menangis sampai matanya buta, kemudian Allah swt, mengembalikan menjadi sembuh, lalu beliau menangis lagi hingga buta kembali sampai tiga kali.

Lalu Allah swt, memberikan wahyu kepadanya: “Wahai Syu’aib, bila tangisanmu karena engkau takut neraka, Aku sudah benar-benar mengamankan dirimu dari neraka. Dan jika tangismu karena syurga, Aku telah mewajibkan dirimu syurga.”

“Tidak Ya Tuhan, namun aku menangis karena rindu ingin memandangmu…” kata Nabi Syu’aib as.

Kemudian Allah swt, menurunkan wahyu kepadanya, ” Sungguh wahai Syu’aib! Sangat benar orang yang menghendakiKu, menangis dari dalam rindu kepadaKu. Untuk penyakit ini tidak ada obatnya, kecuali bertemu denganKu.”

Diriwayatkan bahwa Nabi saw, bersabda: “Bila seorang hamba menangis karena takut kepada Allah atas masalah ummat, sungguh Allah swt memberikan rahmat bagi ummat itu, karena tangisan hamba tadi.”

Rabi’ah ra, berkata, “Aku menangis selama sepuluh tahun karena merasa jauh dari Allah swt, dan sepuluh tahun lagi menangis karena bersama Allah swt, kemudian sepuluh tahun menangis karena menuju kepada Allah swt. Menangis karena bersama Allah, disebabkan sangat berharap padaNya. Sedangkan menangis jauh dari Allah swt, karena takut kepadaNya. Adapun menangis karena menuju Allah swt, karena sangat rindu kepadaNya.”

Salah satu Sufi berkata, “Aku masuk ke rumah rabi’ah al-Bashriyah, ketika itu ia sedang sujud. Lalu aku duduk di sisinya, hingga ia bangun mengangkat kepalanya.

Kulihat ditempat sujudnya menggenang air matanya. Aku bersalam kepadanya, dan ia jawab salamku. Ia berkata, “Apa kebutuhanmu?” tanyanya.
“Aku ingin datang kepadamu..” kataku.

Lalu ia menangis, dan memalingkan wajahnya dariku. Ketika ia menangis, ia mengatakan, “Sejuknya matahatiku harus datang dariMu? Sungguh mengherankan orang yang mengenalMu, bagaimana ia bisa sibuk dengan selain DiriMu? Mengherankan sekali! Orang yang menghendakiMu, bagaimana ia menginginkan selain DiriMu?”

Mereka memaksa diri menangis apabila mengenang nasib diri di hari akhirat dan membayangkan huru-hara apabila menjelang kiamat.Dalam hal ini menangis adalah dituntut. Setitis airmata yang jatuh karena takutkan Allah akan dapat memadamkan api neraka di hari akhirat kelak.

Dalam sebuah hadis Rasulullah s.a.w bersabda bahwa air mata dari tangisan pembuat dosa yang bertaubat adalah lebih disukai Allah dari tasbih para wali. Rasulullah s.a.w juga ada bersabda: "Kejahatan yang dibuat lalu menimbulkan rasa
sedih adalah lebih baik dari kebaikan yang menimbulkan rasa takbur."

Anas r.a berkata: Pada suatu hari Rasulullah s.a.w berkhutbah, lalu baginda bersabda
dalam khutbahnya itu: "Andaikan kamu mengetahui sebagaimana yang aku ketahui,niscaya kamu akan sedikit ketawa dan banyak menangis."

Anas berkata: seketika itu para sahabat menutup muka masing-masing sambil menangis
teresak-esak.

Hari ini manusia terus menangis dan menangis, tetapi tangisan mereka amat jauh bedanya dengan tangisan para Nabi, Rasul dan sahabat. Jika orang sholeh zaman dahulu menangis karena mengenang nasibnya diakhirat tetapi orang hari ini menangis karena takut kehilangan dunia. Tangisan ini datangnya dari sifat tamak dan tidak ridha.

Kalau orang sholeh takut berpisah dengan iman dan kecintaannya pada Allah, orang hari ini takut berpisah dengan dosa dan maksiat. Jika para Nabi dan rasul serta para sahabat takut menghadapi akhirat, orang hari ini seolah-olah berani dan tidak takut menghadapinya. Tetapi bila orang sholeh berani menghadapi gelombang hidup duniawi, orang hari ini takut dan lemah hati dalam menghadapi kegagalan dan kekecewaan dalam hidup.

Menangis dan menangislah tapi biarlah kena pada tempatnya yang dibolehkan oleh agama. Apa akan jadi jika kita gagal diakhirat? Inilah sebenarnya kegagalan yang total. Jadi kalau perkara ini yang kita tangiskan, memang kenalah pada tempatnya. Abu Hummah(Shadujja) Bin Adilan Albahily r.a berkata: Bersabda Rasulullah s.a.w: "Tiada suatu yang lebih disukai oleh Allah dari dua tetes dan dua bekas. Titisan airmata karena takut kepada Allah dan titisan darah dalam mempertahankan agama Allah. Adapun dua bekas adalah bekas dalam perjuangan fisabilillah dan bekas perjuangan kewajiban kepada Allah." (Riwayat Attirmizi).

http://www.radionuris.com/2010/11/menangis-yang-bermanfaat.html